PEMBIDANGAN HUKUM ADAT
Mengenai pembidangan hukum adat tersebut, terdapat
pelbagai variasi, yang berusaha untuk mengidentifikasikan kekhususan hukum
adat, apabiladibandingkan dengan hukum Barat. Pembidangan tersebut biasanya
dapat diketemukan pada buku-buku standar, dimana sistematika buku-buku tersebut
merupakan suatu petunjuk untuk mengetahui pembidangan mana yang dianut oleh
penulisnya.
Van Vollen Hoven berpendapat, bahwa pembidangan hukum
adat, adalah sebagai berikut :
1. Bentuk-bentuk masyarakat hukum adat
2. Tentang Pribadi
3. Pemerintahan dan peradilan
4. Hukum Keluarga
5. Hukum Perkawinan
6. Hukum Waris
7. Hukum Tanah
8. Hukum Hutang piutang
9. Hukum delik
10. Sistem sanksi.
Soepomo Menyajikan pembidangnya sebagai berikut :
1. Hukum keluarga
2. Hukum perkawinan
3. Hukum waris
4. Hukum tanah
5. Hukum hutang piutang
6. Hukum pelanggaran
1. Bentuk-bentuk Masyarakat hukum Adat
Persekutuan
Hukum merupakan kesatuan-kesatuan yang mempunyai tata susunan yang teratur dan
kekal serta memiliki pengurus sendiri dan kekayaan sendiri, baik kekayaan
materiil maupun kekayaan imaterial. Bentuk dan
susunan masyarakat hukum yang merupakan persekutuan hukum adat terikat oleh
faktor Territorial dan Genealogis.
a.
Faktor
Teritorial (territorial constitution)
yaitu faktor terikat pada suatu daerah tertentu,
dimana merupakan faktor yang mempunyai peranan yang terpenting. Masyarakat
hukum atau persekutuan hukum yang teritorial adalah masyarakat yang tetap dan
teratur yang anggota masyarakatnya terikat pada suatu daerah kediaman tertentu,
baik dalam kaitan dengan duniawi maupun dalam kaitannya dengan rohani / roh-roh
leluhur.
Bila ada anggota masyarakat yang merantau hanya untuk
waktu sementara, maka masih tetap merupakan anggota kesatuan territorial itu.
Menurut Van Dijk, Persekutuan Hukum Teritorial dapat dibedakan menjadi:
1) Persekutuan Desa.
Merupakan suatu tempat kediaman bersama di dalam
daerahnya sendiri termasuk beberapa pedukuhan yang terletak di sekitarnya yang
tunduk pada perangkat desa yang berkediaman di pusat desa. Masyarakat hukum
Desa (Persekutuan Desa), yaitu sekumpulan orang yang hidup bersama berasaskan
pandangan hidup, cara hidup dan sistem kepercayaan yang sama, yang menetap pada
tempat bersama. Anggota persekutuan ini tidak harus berkerabat.
2) Persekutuan Daerah.
Merupakan suatu daerah kediaman bersama dan menguasai
hak ulayat bersama yang terdiri dari beberapa dusun atau kampung dengan satu
pusat pemerintahan.Masyarakat hukum Wilayah (Persekutuan Daerah), yaitu
kesatuan sosial teritorial yang melindungi beberapa masyarakat hukum desa yang
masing-masing tetap merupakan kesatuan yang berdiri sendiri. Persekutuan Daerah
à seperti kesatuan masyarakat “Nagari” di Minangkabau, “Marga” di Sumatera
Selatan & Lampung.
3) Perserikatan Desa.
Bila di beberapa desa atau marga yang letaknya
berdampingan yang masing-masing berdiri sendiri kemudian mengadakan perjanjian
kerjasama untuk mengatur kepentingan bersama seperti pertahanan, ekonomi,
pertanian. Misalnya di Lampung ada Perserikatan Marga Empat Tulangbawang yang
terdiri dari Marga adat Buway Bolan, Tegamo’an, Sumway Umpu dan Buway Aji.
b.
Faktor
genealogis (tribal constitution),
yaitu faktor yang melandaskan kepada pertalian darah
suatu keturunan, dalam kenyataannya tidak menduduki peranan yang penting dalam
timbulnya suatu persekutuan hukum.
Masyarakat / Persekutuan Hukum Genealogis adalah suatu
kesatuan masyarakat yang teratur, di mana para anggotanya terikat pada suatu
garis keturunan yang sama dari satu leluhur, baik secara langsung maupun secara
tidak langsung karena pertalian perkawinan atau pertalian adat. Susunan
Persekutuan Hidup:
1) Bersifat Genealogis (keturunan / kekerabatan), yaitu:
a)
Patrilineal,
yaitu sistem kekerabatan dengan pertalian keturunan menurut garis laki-laki /
bapak. Contoh di Batak, Bali dan Ambon. Patrilinial, susunan masyarakat ditarik
menurut garis keturunan bapak / lelaki. Contohnya di Batak, mudah kita kenali
dari nama marganya seperti Situmorang, Sinaga, Nainggolan, Simatupang,
Aritonang, Siregar, dlsb.
b)
Matrilineal,
yaitu sistem kekerabatan dengan pertalian keturunan menurut garis perempuan /
ibu. Contoh di Minangkabau, Kerinci dan Semendo di Sumatera Selatan.
c)
Parental /
Unilateral, yaitu sistem kekerabatan dengan memperhitungkan / menghubungkan
garis keturunan baik dari pihak ibu maupun bapak. Contoh: Jawa, Sunda, Aceh dan
Dayak.
2) Orang luar dapat saja masuk ke dalam badan persekutuan
hukum sebagai anggota, atau teman segolongan dengan cara:
a)
Pada zaman
dulu, dapat masuk dengan cara menjadi hamba / budak.
b)
Karena
pertalian perkawinan.
c)
Dengan jalan pengambilan
anak, sehingga yang semula bukan famili menjadi famili dan masuk sebagai
anggota golongan tersebut.
Masuknya seseorang dalam suatu persekutuan terjadi
dengan upacara menurut kepercayaan adat.
c.
Masyarakat
Territorial Genealogis
Kesatuan masyarakat yg tetap & teratur dimana para
anggotanya bukan saja terikat pd tempat kediaman pd suatu daerah tertentu, ttp
juga terikat pd hubungan keturunan dlm ikatan pertalian darah dan/atau
kekerabatan.
Bentuk aslinya “Marga” dengan “Dusun-dusun” di
Sumatera Selatan. “Marga” dengan “Tiyuh-tiyuh” dimana para anggota
masyarakat terikat pada suatu daerah (marga/kuria) dan terikat pula pada suatu
Marga keturunan. Bentuk campuran Masyarakat asli yang bercampur dengan masyarakat
transmigran.
Dengan demikian di dalam suatu daerah territorial
genealogis berlaku dualisme / pluralisme hukum.
2.
Hukum
Pribadi/ Perorangan
Hukum
Perorangan, adalah keseluruhan kaedah hukum yang mengatur kedudukan manusia
sebagai subjek hukum dan wewenang untuk memperoleh, memiliki, dan mempergunakan
hak – hak dan kewajiban ke dalam lalu lintas hukum serta kecakapan untuk
bertindak sendiri melaksanakan hak – haknya, juga hal – hal yang mempengaruhi
kedudukan subjek hukum. Dalam artian sempit hokum perorangan dapat diartikan
sebagai hukum orang yang hanya ketentuan orang sebagai subjek hukum. Dan dalam
artian yang luas Hukum orang tidak hanya ketentuan orang sebagai subjek hukum
tetapi juga termasuk aturan hukum keluarga.
Yang
merupakan subyek dari hukum pribadi menurut hukum adat, disamping pribadi (natuurlijk persoon) diakui juga pribadi
hukum (rechtspersoon) sebagai subyek
hukum. Pribadi hukum adalah pribadi (persoon)
yang merupakan ciptaan hukum.
Manusia
menurut pengertian hukum terdiri dari tiga pengertian :
a.
Mens, yaitu manusia
dalam pengertian biologis yang mempunyai anggota tubuh,kepala, tangan, kaki dan
sebagainya.
b.
Persoon, yaitu
manusia dalam pengertian yuridis,baik sebagi individu/pribadi maupun sebagai
makhluk yang melakukan hubungan Hukum dalam masyarakat.
c.
Rehts Subject (Subjek
Hukum).yaitu manusia dalam hubungan dengan hubungan hukum (rechts relatie),
maka manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban.
Pada
azasnya manusia (naturlijk persoon) merupakan subjek hukum (pendukung hak dan
kewajiban ) sejak lahirnya sampai meninggal. Dapat dihitung surut, apabila
memang untuk kepentingannya, dimulai ketika orang tersebut masih berada di
dalam kandungan ibunya (Teori Fiksi Hukum). Bahkan pasal 2 KUH.Perdata
mengatakan : “Anak ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap telah
dilahirkan (menjadi subjek hukum) bila mana kepentingan sianak menghendakinya
misal mengenai pewarisan dan jika sianak mati sewaktu dilahirkan dianggap
sebagai tidak pernah ada.”
Hukum
pribadi pada dasarnya mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban daripada subyek
hukum. Setiap subyek hukum itu mempunyai hak, maka subyek hukum itu mempunyai
hak untuk bersikap-tindak atau berperilaku. Bersikap-tindak atau perilaku
diartikan sebagai sikap-tindak atau perilaku yang mempunyai akibat hukum. Namun
demikian, kenyataannya walaupun setiap pribadi kodrati berhak untuk
bersikap-tindak atau berperilaku (hukum), tetapi tidak setiap kodrati itu
dianggap mampu atau cakap bersikap-tindak atau melakukan sikaptindak hukum.
Kecakapan bersikap-tindak atau berperilaku dalam HUKUM ADAT itu ada apabila
yang bersangkutan telah dewasa.
Namun
demikian, masalah kedewasaan seseorang menurut hukum adat seringkali tergantung
pada penilaian masyarakat setempat. Misalnya didalam keadaan dimana orang tua
telah meninggal dunia, maka urusan rumah tangga biasanya diselenggarakan oleh
anak laki-laki tertua walaupun belum menikah. Apakah dia juga belum dianggap dewasa,
sehingga belum cakap untuk bersikap-tindak atau berperilaku dalam hukum?
Dalam
konteks ini perlu pula diperhatikan pendapat dari soepomo yang dituangkan dalam
bukunya Adatprivaatrecht van West Java, yang
menyatakan bahwa seseorang sudah dianggap dewasa dalam hukum adat, apabila
seseorang sudah kuat gawe (mampu untuk bekerja secara mandiri), cakap mengurus
harta benda serta keperluannya sendiri, serta cakap untuk melakukan segala tata
cara pergaulan hidup kemasyarakatan termasuk mempertanggungjawabkan segala
tindakannya.
3. Hukum Keluarga
a.
Keturunan
Keturunan adalah ketunggalan leluhur, artinya ada hubungan darah antara
seseorang dengan orang lain. Keturunan merupakan unsur yang penting bagi suatu
clan, suku ataupun kerabat yang menginginkan dirinya tidak punah, yang
menghendaki supaya ada generasi penerus. Maka apabila ada clan, suku ataupun
kerabat yang tidak memiliki keturunan, pada umumnya melakukan pengangkatan anak
(adopsi) untuk menghindari kepunahan.
Individu sebagai keturunan mempunyai hak dan kewajiban-kewajiban tertentu
yang berhubungan dengan kedudukannya dalam keluarga, misalnya boleh ikut
menggunakan nama keluarga, saling bantu membantu dan saling mewakili dalam
suatu perbuatan hukum dengan pihak ketiga dan sebagainya. Keturunan dapat
bersifat:
1)
Lurus, apabila seseorang merupakan keturunan langsung, misalnya antara
bapak dan anak sampai cucu disebut lurus ke bawah, sebaliknya dari anak, bapak
dan kakek disebut lurus ke atas.
2)
Menyimpang atau bercabang, apabila kedua orang atau lebih terdapat adanya
ketunggalan leluhur, misal bapak ibunya sama (saudara kandung), sekakek-nenek
dan sebagainya.
Selain itu,
sifat keturunan ada tingkatan-tingkatan atau derajat-derajatnya, misalnya
sorang anak merupakan keturuan tingakat I dari bapaknya, cucu merupakan keturunan
tingkat II dari kakeknya dan sebagainya. Tingkatan atau derajat demikian
biasanya dipergunakan untuk kerabat-kerabat raja, untuk menggambarkan dekat
atau jauhnya hubungan keluarga dengan raja yang bersangkutan.
Dikenal juga
keturuanan garis bapak (keturunan patrilineal), yaitu hubungan darahnya
dilihat dari segi laki-laki/ bapak. Dan keturuanan garis ibu (keturunan matrilineal),
yaitu hubungan darahnya dilihat dari garis perempuan/ibu. Suatu masyarakat yang
mengakui keturunan patrilineal (contoh di daerah Minangkabau) atau matrilineal
(contoh di daerah Tanapuli) saja, disebut unilateral. Sedangkan yang
mengakui keturunan dari kedua belah pihak disebut bilateral.
Lazimnya untuk
kepentingan keturunannya dibuat “silsilah” yaitu bagan dimana digambarkan dengan
jelas garis-garis keturunan dari seseorang dari suami/ isteri baik yang lurus
ke atas maupun yang lurus ke bawah, ataupun yang menyimpang.
b.
Hubungan Anak dengan
Orangtua
Anak kandung memiliki kedudukan yang penting dalam keluarga yaitu: sebagai penerus
generasi, sebagai pusat harapan orang tuanya dikemudian hari, sebagai pelindung
orang tua kemudian haris apabila orang tuanya sudah tidak mampu baik secara
fisik ataupun orang tuanya tidak mampu bekerja lagi.
Oleh karena itu, sejak anak itu masih dalam kandungan hingga ia dilahirkan,
kemudian dalam pertumbuhan selanjutnya, dalam masyarakat adat diadakan banyak
upacara-upacara adat yang sifatnya relegio-magis serta penyelenggaraannya
berurut-urutan mengikuti perkembangan fisik anak yang semuanya itu bertujuan
melindungi anak beserta ibunya dari segala macam bahaya dan gangguan-gangguan
serta kelak anak dilahirkan, agar anak tersebut menjadi seorang anak dapat
memenuhi harapan orang tuanya.
Wujud upacara setiap daerah berbeda satu dengan daerah yang lainnya.
Misalnya upacara-upacara daerah Priangan, masyarakat adat Priangan mengadakan
upacara secara kronologis sebagai berikut :
1)
Anak masih dalam kandungan : bulan ke 3, 5, bulan ke 7 dan ke 9, dan pada
bulan ke 7 upacara adat khusus disebut “Tingkep”.
2)
Pada saat lahir : penanaman “bali” atau kalau tidak ditanam diadakan
upacara penganyutan ke laut.
3)
Pada saat “tali ari” diputus, diadakan sesajen dan tali ari yang diputus
disimpan di dalam “gonggorekan”-nya (kantong obat), serta pada saat itu juga
pemberian nama kepada bayi.
4)
Setelah anak berumur 40 hari, upacara cukur yang diteruskan dengan upacara
“nurunkeun” (pertama kalinya kaki bayi disentuhkan pada tanah)
Disamping itu,
juga sangat diperhatikan hari-hari kelahiran anak, misalnya anak lahir pada
hari kamis, maka tiap hari kamis diadakan “sesajen” demi keselamatan anak. Anak
yang lahir dalam perkawinan yang sah antara suami dan istri adalah hal yang
normal. Tetapi dalam kenyataan, tidak semuanya berjalan dengan normal seperti
berikut:.
1)
Anak Lahir diluar
Perkawinan
Bagaimana pandangan masyarakat adat terhadap peristiwa ini dan bagaimana
hubungan antara si anak dengan wanita yang melahirkan dan bagaimana dengan pria
yang bersangkutan?
Pandangan beberapa daerah tidak sama, ada yang menganggap biasa (Mentawai,
Timor, Minahasa dan Ambon); yang mencela dengan keras di buang di luar
persekutuan, bahkan dibunuh dipersembahkan sebagai budak (seperti di daerah
kerajaan-kerajaan dahulu). Dilakukan pemaksaan kawin dengan pria yang
bersangkutan (oleh rapat marga di Sumatra), atau mengawinkan dengan laki-laki
lain, dengan laki-laki lain dimaksudkan agar anak tetap sah seperti di Jawa
disebut nikah tambelan dan di suku Bugis disebut pattongkog sirig.
Meskipun demikian, anak tersebut di Jawa disebut anak haram jadah dan di
Bali disebut astra.
2) Anak Lahir Karena Hubungan Zinah
Apabila seorang isteri melahirkan anak karena hubungan gelap dengan seorang
pria lain bukan suaminya, maka menurut hukum adat, laki-laki itu menjadi bapak
dari anak tersebut.
3) Anak Lahir setelah Perceraian
Anak yang dilahirkan setelah perceraian, menurut hukum adat mempunyai bapak
bekas suami si ibu yang melahirkan tersebut, apabila terjadi masih dalam
batas-batas waktu mengandung. Hubungan anak dengan orang tua (anak bapak atau
anak ibu) menimbulkan akibat hukum sebagai berikut:
a) Larangan kawin antara anak bapak atau anak ibu.
b) Saling berkewahiban memelihara dan memberi nafkah.
c.
Hubungan Anak dengan Keluarga
Pada umunya hubungan anak dengan keluarga ini sangat tergantung dari
keadaan social dalam masyarakat yang bersangkutan. Seperti yang telah diketahui
di awal bahwa di Indonesia ini terdapat persekutuan yang susunan berlandaskan
tiga macam garis keturunan yaitu keturunan ibu, keturunan bapak, dan keturunan
ibu bapak.
Maksudnya dalam garis keturunan bapak dan ibu (bilateral), hubungan anak
dengan pihak bapak dan ibu sama eratnya, derajatnya ataupun pentinganya. Lain
halnya dalam garis keturunan unilateral (patrilineal atapun matrilineal) adalah
tidak sama eratnya, derajatnya ataupun pentinganya.
d.
Memelihara Anak Yatim Piatu
Apabila dalam suatu keluarga, salah satu dari orang tuanya bapak atau
ibunya sudah tidak ada lagi, maka anak-anak yang belum dewasa dipelihara oleh
salah satu orang tuanya yang masih hidup.
Jika kedua orang tuanya tidak ada, maka yang memelihara anak-anak yang
ditinggalkan adalah salah satu dari kelurga yang terdekat dan yang paling
memungkinkan untuk keperluan itu. Dalam keadaan demikian biasanya tergantung
pada anak diasuh dimana pada waktu ibu dan bapaknya masih ada, kalau biasanya
diasuh dikeluarga ibu, maka anak akan diasuh oleh keluarga ibu dan sebaliknya.
Dalam keluarga matrilineal, jika bapaknya meninggal dunia, maka ibunya
meneruskan kekuasannya terhadap anak-anak yang belum dewasa. Jika ibunya yang
meninggal dunia, maka anak-anak yang belum dewasa berada pada kerabat ibunya
serta dipelihara terus oleh kerabat ibunya yang bersangkutan, sedangkan
hubungan antara anak dengan bapaknya dapat terus dipelihara.
Dalam keluarga yang patrilineal jika bapaknya meninggal dunia, maka ibunya
terus memelihara anak-anak yang belum dewasa, jika ibunya meninggalkan rumah
dan pulang kerumah lingkungan keluarganya atau kawin lagi, maka anak-anak tetap
pada kekuasaan keluarga almarhum suaminya.
Ketentuan-ketentuan tersebut di atas, makin hari atau lambat laun mengalami
perubahan dan penyimpangan-penyimpangan menyesuaikan dengan perkembangan
masyarakat dan cara berfikir masyarakat yang modern.
e.
Mengangkat atau Pengambilan Anak (Adopsi)
Mengangkat anak (adopsi) adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain
ke dalam keluarga sendiri sehingga timbul suatu hubungan kekeluargaan yang sama
seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandung sendiri. Dilihat dari
sudut anak yang dipungut, maka dapat dibedakan beberapa macam, sebagai berikut:
1)
Mengangkat Anak bukan Warga Keluarga
Lazimnya tindakan ini disertai dengan penyerahan barang-barang magis atau
sejumlah uang kepada keluarga anak semula. Alasan adopsi pada umumnya takut
tidak ada keturunan. Kedudukan hukum anak adopsi ini adalah sama dengan anak
kandung suami istri yang mengangkatnya, sedangkan kekeluargaan dengan orang tua
sendiri secara adat menjadi putus.
Adopsi harus terang artinya wajib dilakukan dengan upacara adat serta
dengan bantuan kepala adat. Hal demikian terdapat di daerah Gayo, Lampung,
Pulau Nias dan Kalimantan.
2)
Mengangkat Anak dari Kalangan Keluarga
Alasan mengadopsi anak ini sama dengan yang di atas, yaitu karena takut
tidak mempunyai keturunan.
Di Bali perbuatan ini disebut nyentanayang, adapun dalam keluarga
dengan selir-selir, maka apabila isterinya tidak mepunyai anak, biasanya
anak-anak dari selir-selir itu diangkat untuk dijadikan anak istrinya.
Prosedur pengambilan anak di Bali sebagai berikut:
a)
Wajib membicarakan kehendak untuk mengangkat anak dengan keluarganya secara
matang
b)
Dilakukan sesuai dengan adat yaitu dengan jalan membakar benang yang melangbangkan hubungan anak
dengan keluarganya putus
c)
Memasukkan anak tersebut dalam hubungan kekeluargaan yang memungut,
istilahnya diperas.
d)
Pengumuman kepada warga, pada zaman kerajaan dahulu dibutuhkan surat izin
raja terkait dengan adopsi ini yang berupa surat peras (akta).
3)
Mengangkat Anak dari Kalangan Keponakan-Keponakan
Perbuatan ini terdapat di Jawa, Sulawesi dan beberapa daerah lain. Sebab
pengankatan keponakan sebagai anak karena:
a)
Tidak punya anak sendiri
b)
Belum dikaruniai anak
c)
Terdorong oleh rasa kasihan
Sesungguhnya
perbuatan ini merupakan pergeseran kekeluargaan
dalam lingkungan keluarga. Lazimnya ini tidak disertai dengan pembayaran
atau penyerahan barang. Tetapi di Jawa Timur sekedar sebagai tanda bahwa
hubungan anak dengan orang tuanya terputus (pedot), orang tua kadung
anak tersebut diberi uang sejunlah rongwang segobang (=17 ½
sen ) sebagai syarat. Sedangkan di Minahasa diberi tanda yang disebut parade
sebagai pengakuan.Selain itu dikenal juga dengan istilah pemungutan anak yang
maksud serta tujuannya buakn semata karena untuk memperoleh keturunan melainkan
lebih untuk memberikan kedudukan hukum kepada anak yang dipungut agar lebih
baik dan menguntungkan dari semula. Misalnya mengangkat anak laki-laki dari
selir (Lampung, Bali) dan mengangkat anak tiri menjadi anak sendiri.
Perlu
ditegaskan, bahwa anak yang diangkat itu pada umumnya mereka yang belum kawin
dan kebanyakan anak yang belum dewasa. Sedangkan yang mengangkat biasanya orang
yang sudah menikah serta yang berumur jauh lebih tua dari pada anak angkatnya,
sehingga anak tersebut memang pantas diangkat menjadi anaknya.
Mungkinkah
adopsi dicabut atau digugurkan? Adopsi pada asasnya dapat digugurkan atau
dicabut dalam hal-hal yang dapat juga menjadi alasan untuk membuang anak
kandung sendiri dari lingkungan keluarga.
4.
Hukum Perkawinan
a. Prinsip-prinsip dan Azaz-azaz
perkawinan menurut Hukum Adat dan UU No. 1 Tahun 1974 :
Perkawinan menurut hukum adat tidak semata-mata berarti
suatu ikatan antara seorang pria dengan wanita sebagai suami isteri untuk
maksud mendapatkan keturunan dan membangun serta membina kehidupan rumah
tangga, tetapi juga suatu hubungan hukum yang menyangkut para anggota kerabat
dari pihak isteri dan para anggota kerabat dari pihak suami. Terjadinya
perkawinan, berarti berlakunya ikatan kekerabatan untuk dapat saling membantu
dan menunjang hubungan kekerabatan yang rukun dan damai.
Dengan terjadinya perkawinan, maka diharapkan agar dari
perkawinan itu didapat keturunan yang akan menjadi penerus silsilah orang tua
dan kerabat, menurut garis ayah atau garis ibu atau garis orang tua. Adanya
silsilah yang menggambarkan kedudukan seseorang sebagai anggota kerabat, adalah
merupakan barometer dari asal-usul keturunan seseorang yang baik dan teratur.
Selanjutnya sehubungan dengan azas-azas perkawinan yang
dianut oleh UU No. 1/1974, maka azas-azas perkawinan menurut hukum adat adalah
sebagai berikut :
1) Perkawinan bertujuan membentuk keluarga
rumah tangga dan hubungan kekerabatan yang rukun dan damai, bahagia dan kekal.
2) Perkawinan tidak saja harus sah
dilaksanakan menurut hukum agama dan atau kepercayaan, tetapi juga harus
mendapat pengakuan dari para anggota kerabat.
3) Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang
pria dengan beberapa wanita sebagai isteri yang kedudukannya masing-masing
ditentukan menurut hukum adat setempat.
4) Perkawinan harus didasarkan atas
persetujuan orang tua dan anggota kerabat. Masyarakat adat dapat menolak
kedudukan suami atau isteri yang tidak diakui masyarakat adat.
5) Perkawinan boleh dilakukan oleh pria
dan wanita yang belum cukup umur atau masih anak-anak. Begitu pula walaupun
sudah cukup umur perkawinan harus berdasarkan izin orang tua/keluarga dan
kerabat.
Perkawinan dalam
hokum adat sangat
dipengaruhi oleh sifat
dari pada susunan kekeluargaan.
Susunan kekeluargaan dikenal
ada beberapa macam,yaitu :
1) Perkawinan dalam kekeluargaan
Patrilineal :
·
perkawinan adalah “perkawinan jujur”
·
pemberian jujur dari
pihak laki-laki melambangkan
diputuskan hubungan keluarga si isteri dengan orang tuanya dan
kerabatnya.
·
Isteri masuk dalam keluarga suami berikut anak-anaknya.
·
Apabila suami meninggal, maka isteri tetap tinggal di rumah
suaminya dengan saudara muda
dari almarhum seolah-olah
seorang isteri itu diwarisi oleh adik almarhum.
2) Perkawinan dalam keluarga Matrilineal :
·
dalam upacara perkawinan mempelai laki-laki diljemput
·
suami berdiam di rumah isterinya, tetapi suami tetap dapa
keluarganya sendiri.
·
Anak-anak masuk dalam
clan isterinya dan si ayah
tidak mempunyai kekuasaan terhadap anak-anaknya.
3)
Perkawinan dalam keluarga Parental :
· setelah
kawin keduanya menjadi satu
keluarga, baik keluarga
suami maupun keluarga isteri.
· Dengan
demikian dalam susunan
kekeluargaan parental suami
dan isteri masing-masing mempunyai
dua keluarga yaitu
kelurga suami dan
keluarga isteri.
b.
Bentuk- bentuk perkawinan adat
Menurut cara terjadinya atau persiapan perkawinan bentuk-
bentuk perkawinan adat dibedakan menjadi 4 macam, yaitu
1)
Perkawinan
Pinang
Yaitu bentuk perkawinan dimana persiapan pelaksanaan
perkawinan dilaksanakan dengan cara meminang atau melamar. Pinangan pada
umumnya dari pihak pria kepada wanita untuk menjalin perkawinan.
2)
Perkawinan
Lari Bersama
Yaitu perkawinan dimana calon suami dan
istri berdasarkan atas persetujuan kedua belah pihak untuk enghindarkan diri
berbagai keharusan sebagai akibat perkawinan mereka berdua lari kesuatu tempat
untuk melangsungkan perkawinan.
3)
Kawin
Bawa Lari
Yaitu bentuk perkawinan dimana seorang
laki- laki melarikan seorang wanita secara paksa.
Berdasarkan atas tata susunan
kekerabatan perkawinan dibedakan menjadi 3 bentuk, yaitu:
1) Bentuk perkawinan pada masyarakat Patrilineal dibedakan menjadi :
a) Perkawinan Jujur
Suatu bentuk perkawinan yang dilakukan dengan memberikan
jujur. Oleh pihak laki- laki kepada pihak perempuan, sebagai lambang
diputuskannya kekeluargaan sang istri dengan orang tua, kerabat, dan
persekutuannya.
b) Perkawinan Mengabdi
Yaitu perkawinan yang disebabkan karena pihak pria tidak
dapat memenuhi syarat- syarat dari pihak wanita. Maka perkawinan dilaksanakan
dengan pembayaran perkawinan dihutang atau ditunda. Dengan perkawinan mengabdi
maka pihak pria tidak usah melunasi uang jujur. Pria mengabdi pada kerabat
mertuanya sampai utangnya lunas.
c) Perkawinan Mengganti/ Levirat
Yaitu perkawinan antara seorang janda engan saudara
laki-laki almarhum suaminya. Bentuk perkawinan ini adalah sebagai akibat adanya
anggapan bahwa seorang istri telah dibeli oleh pihak suami dengan telah
membayar uang jujur. Perkawinan mengganti di Batak disebut “paraekhon”,
di Palembang dan Bengkulu disebut dengan “ganti tikar” dan di Jawa
dikenal dengan “medun ranjang”.
d) Perkawinan Meneruskan/ Sorotan
Yaitu bentuk perkawinan seorang balu (duda) dengan saudara
perempuan almarhum istrinya. Perkawinan ini tanpa pembayaran yang jujur yang
baru, karena istri kedua dianggap meneruskan fungsi dari istri pertama. Tujuan
perkawinan ini : Terjalinnya keutuhan keluarga (hubungan kekeluargaan) agar kehidupan
anak-anak yang lahir dari perkawinan yang lalu tetap terpelihara juga untuk
menjaga keutuhan harga kekayaan (harta perkawinan). Di Jawa disebut dengan
perkawinan “Ngarang wulu”
e) Perkawinan Bertukar
Bentuk perkawinan dimana memperbolehkan sistem perkawinan
timbal balik (symetris connubium). Sehingga pembayaran jujur yang terhutang
secara timbal balik seakan-akan dikompensikan, pembayaran jujuar bertimbal
balik diperhitungkan satu dengan yang lain, sehingga keduanya menjadi hapus.
Dalam masyarakat Patrilineal dikenal perkawinan yang
dilakukan “tanpa pembayaran perkawinan (uang jujur)”
a) Perkawinan Ambil Anak
Yaitu perkawinan yang dilakukan tanpa pembayaran jujur,
yaitu dengan menganggkat si suami sebagai anak laki-laki mereka, sehingga si
istri tetap menjadi anggota clan semula. Si suami telah menjadi anak laki-laki
dari ayah si istri, sehingga anak-anak yang lahir kelak akan menarik garis
keturunan ayahnya.
Alasan dilakukannya perkawinan Ambil Anak karena dalam
masyarakat Patrilineal tidak mempunyai anak laki-laki, sehingga hubungan
patrilinealnya akan punah.
2) Bentuk perkawinan pada masyarakat Matrilineal
Yaitu sistem perkawinan di mana diatur
menurut tat tertib garis ibu, sehingga setelah dilangsungkan perkawinan si
istri tetap tinggal dalam clannnya yang matrilineal.
Perkawinan menganut ketentuan eksogami,
si suami tetap tinggal dalam clannya sendiri, diperkenankan bergaul dengan
kerabat istri sebagai “urung sumando” atau ipar. Anak-anak yang akan dilahirkan
termasukdalam clan ibunyayang matrilineal.
3) Bentuk perkawinan pada masyarakat Parental
Yaitu bentuk perkawinan yang
mengakiatkan bahwa pihak suami maupun pihak istri, masing- masing menjadi
anggota kerabat dari kedua belah pihak. Demikian juga anak- anaknya yang lahir
kelak dan seterusnya.
5.
HUKUM WARIS
Jika hukum waris adat kita bandingkan dengan hukum
waris Islam atau hukum waris atau hukum waris barat seperti disebut didalam KUH
Perdata, maka nampak perbedaan-perbedaannya dalam harta warisan dan cara-cara
pembagiannya yang berlainan.
Harta warisan menurut hukum waris adat tidak merupakan
kesatuan yang dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak
terbagi atau dapat terbagi menurut jenis macamnya dan kepentingan para
warisnya. Harta warisan adat tidak boleh dijual sebagai kesatuan dan uang
penjualan itu lalu dibagi-bagikan kepada para waris menurut ketentuan yang
berlaku sebagaimana didalam hukum waris Islam atau hukum waris barat.
Harta warisan adat terdiri dari harta yang tidak dapat
dibagi-bagikan penguasaan dan pemilikannya kepada para waris dan ada yang dapat
dibagikan. Harta yang tidak terbagi adalah milik bersama para waris, ia tidak
boleh dimiliki secara perseorangan, tetapi ia dapat dipakai dan dinikmati. Hal
ini bertentangan dengan pasal 1066 KUH Perdata alinea pertama yang berbunyi: “Tiada
seorangpun yang mempunyai bagian dalam harta peninggalan diwajibkan menerima
berlangsungnya harta peninggalan itu dalam keadaan tidak terbagi”
Harta warisan adat yang tidak terbagi dapat digadai jika keadaan sangat mendesak
berdasarkan persetujuan para tetua adat dan para anggota kerabat bersangkutan.
Bahkan untuk harta warisan yang terbagi kalau akan dialihkan (dijual) oleh
waris kepada orang lain harus dimintakan pendapat diantara para anggota
kerabat, agar tidak melanggar hak ketetanggaan (naastingsrecht) dalam
kerukunan kekerabatan.
Hukum waris adat tidak mengenal azas “legitieme
portie” atau bagian mutlak sebagaimana hukum waris barat dimana untuk
para waris telah ditentukan hak-hak waris atas bagian tertentu dari harta
warisan sebagaimana diatur dalam pasal 913 KUHPerdata atau di dalam Al-Qur’an
Surah An-Nisa’.
Hukum waris adat tidak mengenal adanya hak bagi waris
untuk sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan dibagikan kepada para waris
sebagaimana disebut dalam alinea kedua dari pasal 1066 KUHPerdata atau juga
menurut hukum Islam. Akan tetapi jika si waris mempunyai kebutuhan atau
kepentingan, sedangkan ia berhak mendapat waris, maka ia dapat saja mengajukan
permintaannya untuk dapat menggunakan harta warisan dengan cara bermusyawarah dan
bermufakat dengan para waris lainnya.
6.
HUKUM TANAH
Masyarakat
Hukum Adat (Adat Recht Gemeenschap) Sebagai Subyek Tanah Ulayat.
Sekelompok
orang yang merasa sebagai suatu kesatuan, baik karena keturunan maupun tempat
tinggal dan kepentingan, mempunyai organisasi yang jelas dengan pimpinannya;
dan harta kekayaan sendiri baik tanah maupun bukan tanah, berujud dan tak
berujud serta berwenang mengurus kepentingan sendiri.
Ciri
Masyarakat Hukum Adat :
a. Himpunan
orang
b. Merasa
bersatu karena : keturunan, wilayah, atau kepentingan
c. Mempunyai
organisasi yang jelas
d. Mempunyai
pimpinan
e. Mepunyai
kekayaan sendiri, tanah, bukanj tanah, berwujud dan tak berujud
f. Wenang
mengurus kepentingan sendiri (otonom)
g. Merupakan
subyek hukum, dapat berbuat di luar maupun di depan sidang pengadilan
Hak Persekutuan Atas
Tanah adalah kewenangan persekutuan hukum adat atas setiap jengkal tanah yang
ada dalam wilayah persekutuan :
a. Kewenangan persekutuan
untuk memanfaatkan bidang tanah tertentu untuk keperluan persekutuan, kantor
lembaga adat, tempat ibadah, jalan, saluran irigasi, dsb.
b. Kewenangan persekutuan
untuk mengatur pencadangan dan pemanfaatan semua bidang tanah dalam wilyah
persekutuan
c. Kewenangan persekutuan
untuk mengizinkan warga persekutuan membuka/mengolah/memanfaatkan bidang tanah
tertentu, sehingga warga itu memperoleh hak perorangan
d. Kewenangan persekutuan
untuk mengurus dan mengatur peralihan bidang tanah dalam wilayah persekutuan,
baik antar warga persekutuan, maupun dengan pihak luar.
7.
HUKUM HUTANG PIUTANG
a.
Hak Atas Perumahan,
Tumbuh-tumbuhan, Ternak dan Barang
Dalam prinsipnya hak milik atas rumah dan tumbuh-tumbuhan terpisah
dari pada hak milik atas tanah di mana rumah atau tumbuh-tumbuhan itu berada.
Jadi artinya, bahwa seorang dapat memiliki rumah atau tumbuh-tumbuhan di atas
pekarangan milik orang lain.
Tahap prinsip ini terdapat pengecualian-pengecualian
sebagai berikut:
1) Dalam transaksi-transaksi tentang
pekarangan termasuk praktis, selalu rumah dan tumbuh-tumbuhan yang ada di situ.
2) Kadang-kadang hak milik atas tumbuh-tumbuhan
membawa hak milik atas tanahnya, Jadi dalam hal ini hak tanah mengikuti hak
tumbuh-tumbuhan.
3) Hak milik atas tanah terikat oleh hak
milik atas rumah tembokyang ada di situ, satu dan lain karena rumah tembok itu
tidak mudah di pindahkan seperti rumah yang terbuat dari bambu atau kayu.
b. Sumbang-menyumbang, Sambat-menyambat, Tolong menolong
Tolong menolong yang kita jumpai dalam adat, ternyata
ada yang mempunyai dasar: Gotong royong artinya tanpa ada pikiran supaya di
kemudian hari dapat menerima balasan pertolongan sekarang memberikan
pertolongan.
Dasar gotong royong ini lazimnya terdapat pada
kerjasama untuk mencapai sesuatu maksud ataupun tujuan bersama, sehingga tiap
warga persekutuan merasa berkewajiban untuk turut serta memberikan bantuan. Seperti:
pembangunan balai desa, musholla dll.
c. Panjer (Tanda Yang Kelihatan)
Perbedaan
antara perjanjian dengan panjer dan perbuatan kontan adalah jelas sekali, yakni
sebagai berikut:
|
Perjanjian dengan panjer
|
Perbuatan kontan
|
|
Mengandung
janji untuk melaksanakan apa yang telah di mufakati bersama di kemudian hari
|
Prestasi
(perbuatannya dilaksanakan pada saat permufakatan itu tercapai)
|
Sedangkan perjanjian dengan panjer ini, apabila
dibandingkan dengan perbuatan hutang, maka perbedaannya adalah sebagai berikut:
|
Perjanjian dengan panjer
|
Perbuatan hutang
|
|
Seperti
di atas.
Pelaksanaan
apa yang telah di mufakati bersama dikemudian hari itu dari kedua belah
pihak.
|
Pelaksanaan
perbuatan telah ada dari satu pihak, yaitu dari yang memberi pinjaman uang,
sedangkan prestasi pihak yang berhutang baru dilaksanakan di kemudian hari
sesuai apa yang telah di mufakati bersama.
|
8. HUKUM
DELIK
Ruang lingkup Delik Adat meliputi lingkup
dari hukum perdata adat, yaitu hukum pribadi, hukum harta kekayaan, hukum
keluarga dan hukum waris. Didalam setiap masyarakat pasti akan terdapat ukuran
mengenai hal apa yang baik dan apa yang buruk. Perihal apa yang buruk atau
sikap tindak yang dipandang sangat tercela itu akan mendapatkan imbalan yang
negative.
Soepomo menyatakan bahwa Delik Adat : “
Segala perbuatan atau kejadian yang sangat menggangu kekuatan batin masyarakat,
segala perbuatan atau kejadian yang mencemarkan suasana batin, yang menentang
kesucian masyarakat, merupakan delik terhadap masyarakat seluruhnya”
Selanjutnya dinyatakan pula : “Delik yang
paling berat ialah segala pelanggaran yang memperkosa perimbangan antara dunia
lahir dan dunia gaib, serta pelanggaran yang memperkosa dasar susunan
masyarakat”.
Walaupun agak abstrak, tetapi dapat
diperoleh suatu pedoman sebagai ukuran dalam menentukan sikap-tindak yang
merupakan kejahatan, yaitu sikap tindak yang mencerminkan ketertiban batin
masyarakat dengan ketertiban dunia gaib.
Beberapa jenis
delik dalam lapangan hukum adat, yakni :
a.
Delik yang paling berat adalah segala pelanggaran yang
memperkosa perimbangan antara dunia lahirdan dunia gaib serta segala
pelanggaran yang memperkosa susunan masyarakat.
b.
Delik terhadap diri sendiri, kepala adat juga
masyarakat seluruhnya, karena kepala adat merupakan penjelmaan masyarakat.
c.
Delik yang menyangkut perbuatan sihir atau tenung
d. Segala perbutan dan kekuatan yang
menggangu batin masyarakat, dan mencemarkan suasana batin masyarakat
e.
Delik yang merusak dasar susunan masyarkat, misalnya
incest
f.
Delik yang menentang kepentingan umum masyarakat dan
menentang kepentingan hukum suatu golongan famili.
g.
Delik yang melanggar kehormatan famili serta melanggar
kepentingan hukum seorang sebagai suami.
h.
Delik mengeani badan seseorang misalnya malukai
Didalam bagian ini akan dijelaskan perihal
reaksi masyarakat terhadap perilaku yang dianggap menyeleweng. Untuk hal ini,
masyarakat yang diwakili oleh pemimpin-pemimpinnya, telah menggariskan
ketentuan-ketentuan tertentu didalam hukum adat, yang fungsi utamanya, adalah
sebagai berikut :
a. Merumuskan pedoman bagaiman warga
masyarakat seharusnya berperilaku , sehingga terjadi integrasi dalam masyarakat.
b. Menetralisasikan kekuatan-kekuatan dalam
masyarakat sehingga dapat dimanfaatkan untuk mengadakan ketertiban.
c. Mengatasi persengketaan, agar keadaan
semula pulih kembali
d. Merumuskan kembali pedoman-pedoman yang
mengatur hubungan antara warga-warga masyarakat dan kelompok-kelompok apabila
terjadi perubahan-perubahan.
Dengan demikian maka perilaku tertentu
akan mendapatkan reaksi tertentu pula. Apabila reaksi tersebut bersifat
negative, maka masyarakat menghendaki adanya pemulihan keadaan yang dianggap
telah rusak oleh sebab perilakuperilaku tertentu (yang dianggap sebagai
penyelewengan).
Didalam praktek kehidupan sehari-hari,
memang sulit untuk memisahkan reaksi adat dengan koreksi, yang seringkali
dianggap sebagai tahap-tahap yang saling mengikuti.
Secara teoritis, maka reaksi merupakan
suatu perilaku serta merta terhadap perilaku tertentu, yang kemudian diikuti
dengan usaha untuk memperbaiki keadaan, yaitu koreksi yang mungkin berwujud
sanksi negatif . Rekasi adat merupakan suatu perilaku untuk memberikan,
klasifikasi tertentu pada perilaku tertentu, sedangkan koreksi merupakan usaha
untuk memulihkan perimbangan antara dunia lahir dengan gaib. Betapa sulitnya
untuk memisahkan kedua tahap tersebut, tampak, antara lain dari pernyataan
Soepomo yang mencakup :
a. pengganti kerugian “imateriel” dalam
pelbagai rupa seperti paksaan menikah gadis yang telah dicemarkan.
b. bayaran “uang adat” kepada orang yang
terkena, yang berupa benda yang sakti sebagai pengganti kerugian rohani.
c. Selamatan (korban) untuk membersihkan
masyarakat dari segala kotoran gaib.
d. Penutup malu, permintaan maaf.
e. Pelbagai rupa hukuman badan, hingga
hukuman mati.
f. Pengasingan dari masyarakat serta
meletakkan orang di lua tata hukum
Dengan demikian, maka baik reaksi adat
maupunkoreksi, terutama bertujuan untuk emmulihkan keseimbangan kosmis, yang
mungkin sekali mempunyai akibat pada warga masyarakat yang melakukan
penyelewengan.
Jika demikian, apakah Anda memerlukan pinjaman hari ini melalui email di markrichardloanservice@gmail.com?
BalasHapusMendapatkan pinjaman yang sah sentiasa menjadi masalah besar Kepada pelanggan yang mempunyai masalah kewangan dan memerlukan penyelesaian kepadanya. Isu kredit dan cagaran adalah
BalasHapussesuatu yang pelanggan sentiasa bimbang apabila mencari pinjaman daripada pemberi pinjaman yang sah. Tetapi .. kita telah membuat perbezaan dalam industri pinjaman. Kita boleh
susunkan pinjaman dari julat $ 5,000.00 USD hingga $ 500,000.000.00 USD serendah 3% faedah Sila balas segera ke e-mel ini:
billjohnson.loanfirm011@gmail.com
Perkhidmatan kami termasuk berikut:
Penyatuan Hutang
Gadai janji Kedua
Pinjaman Perniagaan
Pinjaman Peribadi
Pinjaman Antarabangsa
Pinjaman untuk apa-apa jenis
Pinjaman keluarga
kami membiayai firma pinjaman berskala kecil, perantara, institusi kewangan kecil kerana kami mempunyai modal tanpa had. Untuk keterangan lanjut untuk mendapatkan pinjaman
hubungi kami, sila balas segera ke e-mel ini: billjohnson.loanfirm011@gmail.com
Encik Bill Johnson
Getting a legitimate loan have always been a huge problem To clients who have financial problem and need solution to it. The issue of credit and collateral are
BalasHapussomething that clients are always worried about when seeking a loan from a legitimate lender. But.. we have made that difference in the lending industry. We can
arrange for a loan from the range of $5,000.00 USD to $500,000.000.00 USD as low as 3%interest Kindly respond immediately to this email:
billjohnson.loanfirm011@gmail.com
Our Services Include the Following:
Debt Consolidation
Second Mortgage
Business Loans
Personal Loans
International Loans
Loan for any kinds
Family loan
we fund small scale loan firm, intermediaries, small scale financial institutions for we have unlimited capital. For further details to go about procuring a loan
contact us, Kindly respond immediately to this email: billjohnson.loanfirm011@gmail.com
Mr Bill Johnson