Rabu, 04 Januari 2017

PEMBIDANGAN HUKUM ADAT



PEMBIDANGAN HUKUM ADAT

Mengenai pembidangan hukum adat tersebut, terdapat pelbagai variasi, yang berusaha untuk mengidentifikasikan kekhususan hukum adat, apabiladibandingkan dengan hukum Barat. Pembidangan tersebut biasanya dapat diketemukan pada buku-buku standar, dimana sistematika buku-buku tersebut merupakan suatu petunjuk untuk mengetahui pembidangan mana yang dianut oleh penulisnya.
Van Vollen Hoven berpendapat, bahwa pembidangan hukum adat, adalah sebagai berikut :
1.       Bentuk-bentuk masyarakat hukum adat
2.       Tentang Pribadi
3.       Pemerintahan dan peradilan
4.       Hukum Keluarga
5.       Hukum Perkawinan
6.       Hukum Waris
7.       Hukum Tanah
8.       Hukum Hutang piutang
9.       Hukum delik
10.   Sistem sanksi.

Soepomo Menyajikan pembidangnya sebagai berikut :
1.       Hukum keluarga
2.       Hukum perkawinan
3.       Hukum waris
4.       Hukum tanah
5.       Hukum hutang piutang
6.       Hukum pelanggaran

1.  Bentuk-bentuk Masyarakat hukum Adat
Persekutuan Hukum merupakan kesatuan-kesatuan yang mempunyai tata susunan yang teratur dan kekal serta memiliki pengurus sendiri dan kekayaan sendiri, baik kekayaan materiil maupun kekayaan imaterial. Bentuk dan susunan masyarakat hukum yang merupakan persekutuan hukum adat terikat oleh faktor Territorial dan Genealogis.
a.      Faktor Teritorial (territorial constitution)
yaitu faktor terikat pada suatu daerah tertentu, dimana merupakan faktor yang mempunyai peranan yang terpenting. Masyarakat hukum atau persekutuan hukum yang teritorial adalah masyarakat yang tetap dan teratur yang anggota masyarakatnya terikat pada suatu daerah kediaman tertentu, baik dalam kaitan dengan duniawi maupun dalam kaitannya dengan rohani / roh-roh leluhur.
Bila ada anggota masyarakat yang merantau hanya untuk waktu sementara, maka masih tetap merupakan anggota kesatuan territorial itu. Menurut Van Dijk, Persekutuan Hukum Teritorial dapat dibedakan menjadi:
1)      Persekutuan Desa.
Merupakan suatu tempat kediaman bersama di dalam daerahnya sendiri termasuk beberapa pedukuhan yang terletak di sekitarnya yang tunduk pada perangkat desa yang berkediaman di pusat desa. Masyarakat hukum Desa (Persekutuan Desa), yaitu sekumpulan orang yang hidup bersama berasaskan pandangan hidup, cara hidup dan sistem kepercayaan yang sama, yang menetap pada tempat bersama. Anggota persekutuan ini tidak harus berkerabat.
2)      Persekutuan Daerah.
Merupakan suatu daerah kediaman bersama dan menguasai hak ulayat bersama yang terdiri dari beberapa dusun atau kampung dengan satu pusat pemerintahan.Masyarakat hukum Wilayah (Persekutuan Daerah), yaitu kesatuan sosial teritorial yang melindungi beberapa masyarakat hukum desa yang masing-masing tetap merupakan kesatuan yang berdiri sendiri. Persekutuan Daerah à seperti kesatuan masyarakat “Nagari” di Minangkabau, “Marga” di Sumatera Selatan & Lampung.
3)      Perserikatan Desa.
Bila di beberapa desa atau marga yang letaknya berdampingan yang masing-masing berdiri sendiri kemudian mengadakan perjanjian kerjasama untuk mengatur kepentingan bersama seperti pertahanan, ekonomi, pertanian. Misalnya di Lampung ada Perserikatan Marga Empat Tulangbawang yang terdiri dari Marga adat Buway Bolan, Tegamo’an, Sumway Umpu dan Buway Aji.

b.      Faktor genealogis (tribal constitution),
yaitu faktor yang melandaskan kepada pertalian darah suatu keturunan, dalam kenyataannya tidak menduduki peranan yang penting dalam timbulnya suatu persekutuan hukum.
Masyarakat / Persekutuan Hukum Genealogis adalah suatu kesatuan masyarakat yang teratur, di mana para anggotanya terikat pada suatu garis keturunan yang sama dari satu leluhur, baik secara langsung maupun secara tidak langsung karena pertalian perkawinan atau pertalian adat. Susunan Persekutuan Hidup:
1)      Bersifat Genealogis (keturunan / kekerabatan), yaitu:
a)      Patrilineal, yaitu sistem kekerabatan dengan pertalian keturunan menurut garis laki-laki / bapak. Contoh di Batak, Bali dan Ambon. Patrilinial, susunan masyarakat ditarik menurut garis keturunan bapak / lelaki. Contohnya di Batak, mudah kita kenali dari nama marganya seperti Situmorang, Sinaga, Nainggolan, Simatupang, Aritonang, Siregar, dlsb.
b)     Matrilineal, yaitu sistem kekerabatan dengan pertalian keturunan menurut garis perempuan / ibu. Contoh di Minangkabau, Kerinci dan Semendo di Sumatera Selatan.
c)      Parental / Unilateral, yaitu sistem kekerabatan dengan memperhitungkan / menghubungkan garis keturunan baik dari pihak ibu maupun bapak. Contoh: Jawa, Sunda, Aceh dan Dayak.
2)      Orang luar dapat saja masuk ke dalam badan persekutuan hukum sebagai anggota, atau teman segolongan dengan cara:
a)      Pada zaman dulu, dapat masuk dengan cara menjadi hamba / budak.
b)     Karena pertalian perkawinan.
c)      Dengan jalan pengambilan anak, sehingga yang semula bukan famili menjadi famili dan masuk sebagai anggota golongan tersebut.
Masuknya seseorang dalam suatu persekutuan terjadi dengan upacara menurut kepercayaan adat.
c.       Masyarakat Territorial Genealogis
Kesatuan masyarakat yg tetap & teratur dimana para anggotanya bukan saja terikat pd tempat kediaman pd suatu daerah tertentu, ttp juga terikat pd hubungan keturunan dlm ikatan pertalian darah dan/atau kekerabatan.
Bentuk aslinya “Marga” dengan “Dusun-dusun” di Sumatera Selatan.  “Marga” dengan “Tiyuh-tiyuh” dimana para anggota masyarakat terikat pada suatu daerah (marga/kuria) dan terikat pula pada suatu Marga keturunan. Bentuk campuran Masyarakat asli yang bercampur dengan masyarakat transmigran.
Dengan demikian di dalam suatu daerah territorial genealogis berlaku dualisme / pluralisme hukum.

2.     Hukum Pribadi/ Perorangan
Hukum Perorangan, adalah keseluruhan kaedah hukum yang mengatur kedudukan manusia sebagai subjek hukum dan wewenang untuk memperoleh, memiliki, dan mempergunakan hak – hak dan kewajiban ke dalam lalu lintas hukum serta kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak – haknya, juga hal – hal yang mempengaruhi kedudukan subjek hukum. Dalam artian sempit hokum perorangan dapat diartikan sebagai hukum orang yang hanya ketentuan orang sebagai subjek hukum. Dan dalam artian yang luas Hukum orang tidak hanya ketentuan orang sebagai subjek hukum tetapi juga termasuk aturan hukum keluarga.
Yang merupakan subyek dari hukum pribadi menurut hukum adat, disamping pribadi (natuurlijk persoon) diakui juga pribadi hukum (rechtspersoon) sebagai subyek hukum. Pribadi hukum adalah pribadi (persoon) yang merupakan ciptaan hukum.
Manusia menurut pengertian hukum terdiri dari tiga pengertian :
a.      Mens, yaitu manusia dalam pengertian biologis yang mempunyai anggota tubuh,kepala, tangan, kaki dan sebagainya.
b.      Persoon, yaitu manusia dalam pengertian yuridis,baik sebagi individu/pribadi maupun sebagai makhluk yang melakukan hubungan Hukum dalam masyarakat.
c.       Rehts Subject (Subjek Hukum).yaitu manusia dalam hubungan dengan hubungan hukum (rechts relatie), maka manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban.
Pada azasnya manusia (naturlijk persoon) merupakan subjek hukum (pendukung hak dan kewajiban ) sejak lahirnya sampai meninggal. Dapat dihitung surut, apabila memang untuk kepentingannya, dimulai ketika orang tersebut masih berada di dalam kandungan ibunya (Teori Fiksi Hukum). Bahkan pasal 2 KUH.Perdata mengatakan : “Anak ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap telah dilahirkan (menjadi subjek hukum) bila mana kepentingan sianak menghendakinya misal mengenai pewarisan dan jika sianak mati sewaktu dilahirkan dianggap sebagai tidak pernah ada.”
Hukum pribadi pada dasarnya mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban daripada subyek hukum. Setiap subyek hukum itu mempunyai hak, maka subyek hukum itu mempunyai hak untuk bersikap-tindak atau berperilaku. Bersikap-tindak atau perilaku diartikan sebagai sikap-tindak atau perilaku yang mempunyai akibat hukum. Namun demikian, kenyataannya walaupun setiap pribadi kodrati berhak untuk bersikap-tindak atau berperilaku (hukum), tetapi tidak setiap kodrati itu dianggap mampu atau cakap bersikap-tindak atau melakukan sikaptindak hukum. Kecakapan bersikap-tindak atau berperilaku dalam HUKUM ADAT itu ada apabila yang bersangkutan telah dewasa.
Namun demikian, masalah kedewasaan seseorang menurut hukum adat seringkali tergantung pada penilaian masyarakat setempat. Misalnya didalam keadaan dimana orang tua telah meninggal dunia, maka urusan rumah tangga biasanya diselenggarakan oleh anak laki-laki tertua walaupun belum menikah. Apakah dia juga belum dianggap dewasa, sehingga belum cakap untuk bersikap-tindak atau berperilaku dalam hukum?
Dalam konteks ini perlu pula diperhatikan pendapat dari soepomo yang dituangkan dalam bukunya  Adatprivaatrecht van West Java, yang menyatakan bahwa seseorang sudah dianggap dewasa dalam hukum adat, apabila seseorang sudah kuat gawe (mampu untuk bekerja secara mandiri), cakap mengurus harta benda serta keperluannya sendiri, serta cakap untuk melakukan segala tata cara pergaulan hidup kemasyarakatan termasuk mempertanggungjawabkan segala tindakannya.
3.     Hukum Keluarga
a.       Keturunan
Keturunan adalah ketunggalan leluhur, artinya ada hubungan darah antara seseorang dengan orang lain. Keturunan merupakan unsur yang penting bagi suatu clan, suku ataupun kerabat yang menginginkan dirinya tidak punah, yang menghendaki supaya ada generasi penerus. Maka apabila ada clan, suku ataupun kerabat yang tidak memiliki keturunan, pada umumnya melakukan pengangkatan anak (adopsi) untuk menghindari kepunahan.
Individu sebagai keturunan mempunyai hak dan kewajiban-kewajiban tertentu yang berhubungan dengan kedudukannya dalam keluarga, misalnya boleh ikut menggunakan nama keluarga, saling bantu membantu dan saling mewakili dalam suatu perbuatan hukum dengan pihak ketiga dan sebagainya. Keturunan dapat bersifat:
1)      Lurus, apabila seseorang merupakan keturunan langsung, misalnya antara bapak dan anak sampai cucu disebut lurus ke bawah, sebaliknya dari anak, bapak dan kakek disebut lurus ke atas.
2)      Menyimpang atau bercabang, apabila kedua orang atau lebih terdapat adanya ketunggalan leluhur, misal bapak ibunya sama (saudara kandung), sekakek-nenek dan sebagainya.
Selain itu, sifat keturunan ada tingkatan-tingkatan atau derajat-derajatnya, misalnya sorang anak merupakan keturuan tingakat I dari bapaknya, cucu merupakan keturunan tingkat II dari kakeknya dan sebagainya. Tingkatan atau derajat demikian biasanya dipergunakan untuk kerabat-kerabat raja, untuk menggambarkan dekat atau jauhnya hubungan keluarga dengan raja yang bersangkutan.
Dikenal juga keturuanan garis bapak (keturunan patrilineal), yaitu hubungan darahnya dilihat dari segi laki-laki/ bapak. Dan keturuanan garis ibu (keturunan matrilineal), yaitu hubungan darahnya dilihat dari garis perempuan/ibu. Suatu masyarakat yang mengakui keturunan patrilineal (contoh di daerah Minangkabau) atau matrilineal (contoh di daerah Tanapuli) saja, disebut unilateral. Sedangkan yang mengakui keturunan dari kedua belah pihak disebut bilateral.
Lazimnya untuk kepentingan keturunannya dibuat “silsilah” yaitu bagan dimana digambarkan dengan jelas garis-garis keturunan dari seseorang dari suami/ isteri baik yang lurus ke atas maupun yang lurus ke bawah, ataupun yang menyimpang.
b.      Hubungan Anak dengan Orangtua
Anak kandung memiliki kedudukan yang penting dalam keluarga yaitu: sebagai penerus generasi, sebagai pusat harapan orang tuanya dikemudian hari, sebagai pelindung orang tua kemudian haris apabila orang tuanya sudah tidak mampu baik secara fisik ataupun orang tuanya tidak mampu bekerja lagi.
Oleh karena itu, sejak anak itu masih dalam kandungan hingga ia dilahirkan, kemudian dalam pertumbuhan selanjutnya, dalam masyarakat adat diadakan banyak upacara-upacara adat yang sifatnya relegio-magis serta penyelenggaraannya berurut-urutan mengikuti perkembangan fisik anak yang semuanya itu bertujuan melindungi anak beserta ibunya dari segala macam bahaya dan gangguan-gangguan serta kelak anak dilahirkan, agar anak tersebut menjadi seorang anak dapat memenuhi harapan orang tuanya.
Wujud upacara setiap daerah berbeda satu dengan daerah yang lainnya. Misalnya upacara-upacara daerah Priangan, masyarakat adat Priangan mengadakan upacara secara kronologis sebagai berikut :
1)      Anak masih dalam kandungan : bulan ke 3, 5, bulan ke 7 dan ke 9, dan pada bulan ke 7 upacara adat khusus disebut “Tingkep”.
2)      Pada saat lahir : penanaman “bali” atau kalau tidak ditanam diadakan upacara penganyutan ke laut.
3)      Pada saat “tali ari” diputus, diadakan sesajen dan tali ari yang diputus disimpan di dalam “gonggorekan”-nya (kantong obat), serta pada saat itu juga pemberian nama kepada bayi.
4)      Setelah anak berumur 40 hari, upacara cukur yang diteruskan dengan upacara “nurunkeun” (pertama kalinya kaki bayi disentuhkan pada tanah)
Disamping itu, juga sangat diperhatikan hari-hari kelahiran anak, misalnya anak lahir pada hari kamis, maka tiap hari kamis diadakan “sesajen” demi keselamatan anak. Anak yang lahir dalam perkawinan yang sah antara suami dan istri adalah hal yang normal. Tetapi dalam kenyataan, tidak semuanya berjalan dengan normal seperti berikut:.
1)      Anak Lahir diluar Perkawinan
Bagaimana pandangan masyarakat adat terhadap peristiwa ini dan bagaimana hubungan antara si anak dengan wanita yang melahirkan dan bagaimana dengan pria yang bersangkutan?
Pandangan beberapa daerah tidak sama, ada yang menganggap biasa (Mentawai, Timor, Minahasa dan Ambon); yang mencela dengan keras di buang di luar persekutuan, bahkan dibunuh dipersembahkan sebagai budak (seperti di daerah kerajaan-kerajaan dahulu). Dilakukan pemaksaan kawin dengan pria yang bersangkutan (oleh rapat marga di Sumatra), atau mengawinkan dengan laki-laki lain, dengan laki-laki lain dimaksudkan agar anak tetap sah seperti di Jawa disebut nikah tambelan dan di suku Bugis disebut pattongkog sirig. Meskipun demikian, anak tersebut di Jawa disebut anak haram jadah dan di Bali disebut astra.
2)      Anak Lahir Karena Hubungan Zinah
Apabila seorang isteri melahirkan anak karena hubungan gelap dengan seorang pria lain bukan suaminya, maka menurut hukum adat, laki-laki itu menjadi bapak dari anak tersebut.
3)      Anak Lahir setelah Perceraian
Anak yang dilahirkan setelah perceraian, menurut hukum adat mempunyai bapak bekas suami si ibu yang melahirkan tersebut, apabila terjadi masih dalam batas-batas waktu mengandung. Hubungan anak dengan orang tua (anak bapak atau anak ibu) menimbulkan akibat hukum sebagai berikut:
a)      Larangan kawin antara anak bapak atau anak ibu.
b)     Saling berkewahiban memelihara dan memberi nafkah.

c.       Hubungan Anak dengan Keluarga
Pada umunya hubungan anak dengan keluarga ini sangat tergantung dari keadaan social dalam masyarakat yang bersangkutan. Seperti yang telah diketahui di awal bahwa di Indonesia ini terdapat persekutuan yang susunan berlandaskan tiga macam garis keturunan yaitu keturunan ibu, keturunan bapak, dan keturunan ibu bapak.
Maksudnya dalam garis keturunan bapak dan ibu (bilateral), hubungan anak dengan pihak bapak dan ibu sama eratnya, derajatnya ataupun pentinganya. Lain halnya dalam garis keturunan unilateral (patrilineal atapun matrilineal) adalah tidak sama eratnya, derajatnya ataupun pentinganya.
d.      Memelihara Anak Yatim Piatu
Apabila dalam suatu keluarga, salah satu dari orang tuanya bapak atau ibunya sudah tidak ada lagi, maka anak-anak yang belum dewasa dipelihara oleh salah satu orang tuanya yang masih hidup.
Jika kedua orang tuanya tidak ada, maka yang memelihara anak-anak yang ditinggalkan adalah salah satu dari kelurga yang terdekat dan yang paling memungkinkan untuk keperluan itu. Dalam keadaan demikian biasanya tergantung pada anak diasuh dimana pada waktu ibu dan bapaknya masih ada, kalau biasanya diasuh dikeluarga ibu, maka anak akan diasuh oleh keluarga ibu dan sebaliknya.
Dalam keluarga matrilineal, jika bapaknya meninggal dunia, maka ibunya meneruskan kekuasannya terhadap anak-anak yang belum dewasa. Jika ibunya yang meninggal dunia, maka anak-anak yang belum dewasa berada pada kerabat ibunya serta dipelihara terus oleh kerabat ibunya yang bersangkutan, sedangkan hubungan antara anak dengan bapaknya dapat terus dipelihara.
Dalam keluarga yang patrilineal jika bapaknya meninggal dunia, maka ibunya terus memelihara anak-anak yang belum dewasa, jika ibunya meninggalkan rumah dan pulang kerumah lingkungan keluarganya atau kawin lagi, maka anak-anak tetap pada kekuasaan keluarga almarhum suaminya.
Ketentuan-ketentuan tersebut di atas, makin hari atau lambat laun mengalami perubahan dan penyimpangan-penyimpangan menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat dan cara berfikir masyarakat yang modern.
e.       Mengangkat atau Pengambilan Anak (Adopsi)
Mengangkat anak (adopsi) adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri sehingga timbul suatu hubungan kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandung sendiri. Dilihat dari sudut anak yang dipungut, maka dapat dibedakan beberapa macam, sebagai berikut:
1)      Mengangkat Anak bukan Warga Keluarga
Lazimnya tindakan ini disertai dengan penyerahan barang-barang magis atau sejumlah uang kepada keluarga anak semula. Alasan adopsi pada umumnya takut tidak ada keturunan. Kedudukan hukum anak adopsi ini adalah sama dengan anak kandung suami istri yang mengangkatnya, sedangkan kekeluargaan dengan orang tua sendiri secara adat menjadi putus.
Adopsi harus terang artinya wajib dilakukan dengan upacara adat serta dengan bantuan kepala adat. Hal demikian terdapat di daerah Gayo, Lampung, Pulau Nias dan Kalimantan.
2)      Mengangkat Anak dari Kalangan Keluarga
Alasan mengadopsi anak ini sama dengan yang di atas, yaitu karena takut tidak mempunyai keturunan.
Di Bali perbuatan ini disebut nyentanayang, adapun dalam keluarga dengan selir-selir, maka apabila isterinya tidak mepunyai anak, biasanya anak-anak dari selir-selir itu diangkat untuk dijadikan anak istrinya.
Prosedur pengambilan anak di Bali sebagai berikut:
a)      Wajib membicarakan kehendak untuk mengangkat anak dengan keluarganya secara matang
b)      Dilakukan sesuai dengan adat yaitu dengan jalan membakar  benang yang melangbangkan hubungan anak dengan keluarganya putus
c)      Memasukkan anak tersebut dalam hubungan kekeluargaan yang memungut, istilahnya diperas.
d)     Pengumuman kepada warga, pada zaman kerajaan dahulu dibutuhkan surat izin raja terkait dengan adopsi ini yang berupa surat peras (akta).
3)      Mengangkat Anak dari Kalangan Keponakan-Keponakan
Perbuatan ini terdapat di Jawa, Sulawesi dan beberapa daerah lain. Sebab pengankatan keponakan sebagai anak karena:
a)      Tidak punya anak sendiri
b)      Belum dikaruniai anak
c)      Terdorong oleh rasa kasihan
Sesungguhnya perbuatan ini merupakan pergeseran kekeluargaan  dalam lingkungan keluarga. Lazimnya ini tidak disertai dengan pembayaran atau penyerahan barang. Tetapi di Jawa Timur sekedar sebagai tanda bahwa hubungan anak dengan orang tuanya terputus (pedot), orang tua kadung anak tersebut diberi uang sejunlah rongwang segobang (=17 ½ sen ) sebagai syarat. Sedangkan di Minahasa diberi tanda yang disebut parade sebagai pengakuan.Selain itu dikenal juga dengan istilah pemungutan anak yang maksud serta tujuannya buakn semata karena untuk memperoleh keturunan melainkan lebih untuk memberikan kedudukan hukum kepada anak yang dipungut agar lebih baik dan menguntungkan dari semula. Misalnya mengangkat anak laki-laki dari selir (Lampung, Bali) dan mengangkat anak tiri menjadi anak sendiri.
Perlu ditegaskan, bahwa anak yang diangkat itu pada umumnya mereka yang belum kawin dan kebanyakan anak yang belum dewasa. Sedangkan yang mengangkat biasanya orang yang sudah menikah serta yang berumur jauh lebih tua dari pada anak angkatnya, sehingga anak tersebut memang pantas diangkat menjadi anaknya.
Mungkinkah adopsi dicabut atau digugurkan? Adopsi pada asasnya dapat digugurkan atau dicabut dalam hal-hal yang dapat juga menjadi alasan untuk membuang anak kandung sendiri dari lingkungan keluarga.
4.     Hukum Perkawinan
a.      Prinsip-prinsip dan Azaz-azaz perkawinan menurut Hukum Adat dan UU No. 1 Tahun 1974 :
Perkawinan menurut hukum adat tidak semata-mata berarti suatu ikatan antara seorang pria dengan wanita sebagai suami isteri untuk maksud mendapatkan keturunan dan membangun serta membina kehidupan rumah tangga, tetapi juga suatu hubungan hukum yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak isteri dan para anggota kerabat dari pihak suami. Terjadinya perkawinan, berarti berlakunya ikatan kekerabatan untuk dapat saling membantu dan menunjang hubungan kekerabatan yang rukun dan damai.
Dengan terjadinya perkawinan, maka diharapkan agar dari perkawinan itu didapat keturunan yang akan menjadi penerus silsilah orang tua dan kerabat, menurut garis ayah atau garis ibu atau garis orang tua. Adanya silsilah yang menggambarkan kedudukan seseorang sebagai anggota kerabat, adalah merupakan barometer dari asal-usul keturunan seseorang yang baik dan teratur.
Selanjutnya sehubungan dengan azas-azas perkawinan yang dianut oleh UU No. 1/1974, maka azas-azas perkawinan menurut hukum adat adalah sebagai berikut :
1)   Perkawinan bertujuan membentuk keluarga rumah tangga dan hubungan kekerabatan yang rukun dan damai, bahagia dan kekal.
2)   Perkawinan tidak saja harus sah dilaksanakan menurut hukum agama dan atau kepercayaan, tetapi juga harus mendapat pengakuan dari para anggota kerabat.
3)   Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang pria dengan beberapa wanita sebagai isteri yang kedudukannya masing-masing ditentukan menurut hukum adat setempat.
4)   Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan orang tua dan anggota kerabat. Masyarakat adat dapat menolak kedudukan suami atau isteri yang tidak diakui masyarakat adat.
5)   Perkawinan boleh dilakukan oleh pria dan wanita yang belum cukup umur atau masih anak-anak. Begitu pula walaupun sudah cukup umur perkawinan harus berdasarkan izin orang tua/keluarga dan kerabat.
Perkawinan  dalam  hokum  adat  sangat  dipengaruhi  oleh  sifat  dari  pada susunan  kekeluargaan.  Susunan  kekeluargaan  dikenal  ada  beberapa macam,yaitu :
1)   Perkawinan dalam kekeluargaan Patrilineal :
·         perkawinan adalah “perkawinan jujur”
·         pemberian  jujur  dari  pihak  laki-laki  melambangkan  diputuskan hubungan keluarga si isteri dengan orang tuanya dan kerabatnya.
·         Isteri masuk dalam keluarga suami berikut anak-anaknya.
·         Apabila suami meninggal, maka isteri tetap tinggal di rumah suaminya dengan  saudara  muda  dari  almarhum  seolah-olah  seorang  isteri  itu diwarisi oleh adik almarhum.
2)   Perkawinan dalam keluarga Matrilineal :
·         dalam upacara perkawinan mempelai laki-laki diljemput
·         suami berdiam di rumah isterinya, tetapi suami tetap dapa keluarganya sendiri.
·         Anak-anak masuk dalam  clan  isterinya dan  si ayah  tidak mempunyai kekuasaan terhadap anak-anaknya.
3)         Perkawinan dalam keluarga Parental :
·      setelah  kawin  keduanya menjadi  satu  keluarga,  baik  keluarga  suami maupun keluarga isteri.
·      Dengan  demikian  dalam  susunan  kekeluargaan  parental  suami  dan  isteri masing-masing  mempunyai  dua  keluarga  yaitu  kelurga  suami  dan  keluarga isteri.
b.      Bentuk- bentuk perkawinan adat
Menurut cara terjadinya atau persiapan perkawinan bentuk- bentuk perkawinan adat dibedakan menjadi 4 macam, yaitu
1)    Perkawinan Pinang
Yaitu bentuk perkawinan dimana persiapan pelaksanaan perkawinan dilaksanakan dengan cara meminang atau melamar. Pinangan pada umumnya dari pihak pria kepada wanita untuk menjalin perkawinan.
2)    Perkawinan Lari Bersama
Yaitu perkawinan dimana calon suami dan istri berdasarkan atas persetujuan kedua belah pihak untuk enghindarkan diri berbagai keharusan sebagai akibat perkawinan mereka berdua lari kesuatu tempat untuk melangsungkan perkawinan.
3)   Kawin Bawa Lari
Yaitu bentuk perkawinan dimana seorang laki- laki melarikan seorang wanita secara paksa.

Berdasarkan atas tata susunan kekerabatan perkawinan dibedakan menjadi 3 bentuk, yaitu:
1)      Bentuk perkawinan pada masyarakat Patrilineal dibedakan menjadi :
a)      Perkawinan Jujur
Suatu bentuk perkawinan yang dilakukan dengan memberikan jujur. Oleh pihak laki- laki kepada pihak perempuan, sebagai lambang diputuskannya kekeluargaan sang istri dengan orang tua, kerabat, dan persekutuannya.
b)     Perkawinan Mengabdi
Yaitu perkawinan yang disebabkan karena pihak pria tidak dapat memenuhi syarat- syarat dari pihak wanita. Maka perkawinan dilaksanakan dengan pembayaran perkawinan dihutang atau ditunda. Dengan perkawinan mengabdi maka pihak pria tidak usah melunasi uang jujur. Pria mengabdi pada kerabat mertuanya sampai utangnya lunas.
c)      Perkawinan Mengganti/ Levirat
Yaitu perkawinan antara seorang janda engan saudara laki-laki almarhum suaminya. Bentuk perkawinan ini adalah sebagai akibat adanya anggapan bahwa seorang istri telah dibeli oleh pihak suami dengan telah membayar uang jujur. Perkawinan mengganti di Batak disebut “paraekhon”, di Palembang dan Bengkulu disebut dengan “ganti tikar” dan di Jawa dikenal dengan “medun ranjang”.
d)     Perkawinan Meneruskan/ Sorotan
Yaitu bentuk perkawinan seorang balu (duda) dengan saudara perempuan almarhum istrinya. Perkawinan ini tanpa pembayaran yang jujur yang baru, karena istri kedua dianggap meneruskan fungsi dari istri pertama. Tujuan perkawinan ini : Terjalinnya keutuhan keluarga (hubungan kekeluargaan) agar kehidupan anak-anak yang lahir dari perkawinan yang lalu tetap terpelihara juga untuk menjaga keutuhan harga kekayaan (harta perkawinan). Di Jawa disebut dengan perkawinan “Ngarang wulu
e)      Perkawinan Bertukar
Bentuk perkawinan dimana memperbolehkan sistem perkawinan timbal balik (symetris connubium). Sehingga pembayaran jujur yang terhutang secara timbal balik seakan-akan dikompensikan, pembayaran jujuar bertimbal balik diperhitungkan satu dengan yang lain, sehingga keduanya menjadi hapus.
Dalam masyarakat Patrilineal dikenal perkawinan yang dilakukan “tanpa pembayaran perkawinan (uang jujur)”
a)      Perkawinan Ambil Anak
Yaitu perkawinan yang dilakukan tanpa pembayaran jujur, yaitu dengan menganggkat si suami sebagai anak laki-laki mereka, sehingga si istri tetap menjadi anggota clan semula. Si suami telah menjadi anak laki-laki dari ayah si istri, sehingga anak-anak yang lahir kelak akan menarik garis keturunan ayahnya.
Alasan dilakukannya perkawinan Ambil Anak karena dalam masyarakat Patrilineal tidak mempunyai anak laki-laki, sehingga hubungan patrilinealnya akan punah.

2)      Bentuk perkawinan pada masyarakat Matrilineal
Yaitu sistem perkawinan di mana diatur menurut tat tertib garis ibu, sehingga setelah dilangsungkan perkawinan si istri tetap tinggal dalam clannnya yang matrilineal.
Perkawinan menganut ketentuan eksogami, si suami tetap tinggal dalam clannya sendiri, diperkenankan bergaul dengan kerabat istri sebagai “urung sumando” atau ipar. Anak-anak yang akan dilahirkan termasukdalam clan ibunyayang matrilineal.
3)      Bentuk perkawinan pada masyarakat Parental
Yaitu bentuk perkawinan yang mengakiatkan bahwa pihak suami maupun pihak istri, masing- masing menjadi anggota kerabat dari kedua belah pihak. Demikian juga anak- anaknya yang lahir kelak dan seterusnya.

5.     HUKUM WARIS
Jika hukum waris adat kita bandingkan dengan hukum waris Islam atau hukum waris atau hukum waris barat seperti disebut didalam KUH Perdata, maka nampak perbedaan-perbedaannya dalam harta warisan dan cara-cara pembagiannya yang berlainan.
Harta warisan menurut hukum waris adat tidak merupakan kesatuan yang dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak terbagi atau dapat terbagi menurut jenis macamnya dan kepentingan para warisnya. Harta warisan adat tidak boleh dijual sebagai kesatuan dan uang penjualan itu lalu dibagi-bagikan kepada para waris menurut ketentuan yang berlaku sebagaimana didalam hukum waris Islam atau hukum waris barat.
Harta warisan adat terdiri dari harta yang tidak dapat dibagi-bagikan penguasaan dan pemilikannya kepada para waris dan ada yang dapat dibagikan. Harta yang tidak terbagi adalah milik bersama para waris, ia tidak boleh dimiliki secara perseorangan, tetapi ia dapat dipakai dan dinikmati. Hal ini bertentangan dengan pasal 1066 KUH Perdata alinea pertama yang berbunyi: “Tiada seorangpun yang mempunyai bagian dalam harta peninggalan diwajibkan menerima berlangsungnya harta peninggalan itu dalam keadaan tidak terbagi”
Harta warisan adat yang tidak terbagi dapat      digadai jika keadaan sangat mendesak berdasarkan persetujuan para tetua adat dan para anggota kerabat bersangkutan. Bahkan untuk harta warisan yang terbagi kalau akan dialihkan (dijual) oleh waris kepada orang lain harus dimintakan pendapat diantara para anggota kerabat, agar tidak melanggar hak ketetanggaan (naastingsrecht) dalam kerukunan kekerabatan.
Hukum waris adat tidak mengenal azas “legitieme portie” atau bagian mutlak sebagaimana hukum waris barat dimana untuk para waris telah ditentukan hak-hak waris atas bagian tertentu dari harta warisan sebagaimana diatur dalam pasal 913 KUHPerdata atau di dalam Al-Qur’an Surah An-Nisa’.
Hukum waris adat tidak mengenal adanya hak bagi waris untuk sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan dibagikan kepada para waris sebagaimana disebut dalam alinea kedua dari pasal 1066 KUHPerdata atau juga menurut hukum Islam. Akan tetapi jika si waris mempunyai kebutuhan atau kepentingan, sedangkan ia berhak mendapat waris, maka ia dapat saja mengajukan permintaannya untuk dapat menggunakan harta warisan dengan cara bermusyawarah dan bermufakat dengan para waris lainnya.

6.     HUKUM TANAH
Masyarakat Hukum Adat (Adat Recht Gemeenschap) Sebagai Subyek Tanah Ulayat.
Sekelompok orang yang merasa sebagai suatu kesatuan, baik karena keturunan maupun tempat tinggal dan kepentingan, mempunyai organisasi yang jelas dengan pimpinannya; dan harta kekayaan sendiri baik tanah maupun bukan tanah, berujud dan tak berujud serta berwenang mengurus kepentingan sendiri.
Ciri Masyarakat Hukum Adat :
a.    Himpunan orang
b.   Merasa bersatu karena : keturunan, wilayah, atau kepentingan
c.    Mempunyai organisasi yang jelas
d.   Mempunyai pimpinan
e.    Mepunyai kekayaan sendiri, tanah, bukanj tanah, berwujud dan tak berujud
f.     Wenang mengurus kepentingan sendiri (otonom)
g.   Merupakan subyek hukum, dapat berbuat di luar maupun di depan sidang pengadilan
Hak Persekutuan Atas Tanah adalah kewenangan persekutuan hukum adat atas setiap jengkal tanah yang ada dalam wilayah persekutuan :
a.    Kewenangan persekutuan untuk memanfaatkan bidang tanah tertentu untuk keperluan persekutuan, kantor lembaga adat, tempat ibadah, jalan, saluran irigasi, dsb.
b.   Kewenangan persekutuan untuk mengatur pencadangan dan pemanfaatan semua bidang tanah dalam wilyah persekutuan
c.    Kewenangan persekutuan untuk mengizinkan warga persekutuan membuka/mengolah/memanfaatkan bidang tanah tertentu, sehingga warga itu memperoleh hak perorangan
d.   Kewenangan persekutuan untuk mengurus dan mengatur peralihan bidang tanah dalam wilayah persekutuan, baik antar warga persekutuan, maupun dengan pihak luar.

7.     HUKUM HUTANG PIUTANG
a.      Hak Atas Perumahan, Tumbuh-tumbuhan, Ternak dan Barang
Dalam prinsipnya hak milik atas rumah dan tumbuh-tumbuhan terpisah dari pada hak milik atas tanah di mana rumah atau tumbuh-tumbuhan itu berada. Jadi artinya, bahwa seorang dapat memiliki rumah atau tumbuh-tumbuhan di atas pekarangan milik orang lain.
Tahap prinsip ini terdapat pengecualian-pengecualian sebagai berikut:
1)   Dalam transaksi-transaksi tentang pekarangan termasuk praktis, selalu rumah dan tumbuh-tumbuhan yang ada di situ.
2)   Kadang-kadang hak milik atas tumbuh-tumbuhan membawa hak milik atas tanahnya, Jadi dalam hal ini hak tanah mengikuti hak tumbuh-tumbuhan.
3)   Hak milik atas tanah terikat oleh hak milik atas rumah tembokyang ada di situ, satu dan lain karena rumah tembok itu tidak mudah di pindahkan seperti rumah yang terbuat dari bambu atau kayu.
b.   Sumbang-menyumbang, Sambat-menyambat, Tolong menolong
Tolong menolong yang kita jumpai dalam adat, ternyata ada yang mempunyai dasar: Gotong royong artinya tanpa ada pikiran supaya di kemudian hari dapat menerima balasan pertolongan sekarang memberikan pertolongan.
Dasar gotong royong ini lazimnya terdapat pada kerjasama untuk mencapai sesuatu maksud ataupun tujuan bersama, sehingga tiap warga persekutuan merasa berkewajiban untuk turut serta memberikan bantuan. Seperti: pembangunan balai desa, musholla dll.
c.    Panjer (Tanda Yang Kelihatan)
Perbedaan antara perjanjian dengan panjer dan perbuatan kontan adalah jelas sekali, yakni sebagai berikut:

Perjanjian dengan panjer
Perbuatan kontan
Mengandung janji untuk melaksanakan apa yang telah di mufakati bersama di kemudian hari
Prestasi (perbuatannya dilaksanakan pada saat permufakatan itu tercapai)
Sedangkan perjanjian dengan panjer ini, apabila dibandingkan dengan perbuatan hutang, maka perbedaannya adalah sebagai berikut:
Perjanjian dengan panjer
Perbuatan hutang
Seperti di atas.
Pelaksanaan apa yang telah di mufakati bersama dikemudian hari itu dari kedua belah pihak.
Pelaksanaan perbuatan telah ada dari satu pihak, yaitu dari yang memberi pinjaman uang, sedangkan prestasi pihak yang berhutang baru dilaksanakan di kemudian hari sesuai apa yang telah di mufakati bersama.

8.     HUKUM DELIK
Ruang lingkup Delik Adat meliputi lingkup dari hukum perdata adat, yaitu hukum pribadi, hukum harta kekayaan, hukum keluarga dan hukum waris. Didalam setiap masyarakat pasti akan terdapat ukuran mengenai hal apa yang baik dan apa yang buruk. Perihal apa yang buruk atau sikap tindak yang dipandang sangat tercela itu akan mendapatkan imbalan yang negative.
Soepomo menyatakan bahwa Delik Adat : “ Segala perbuatan atau kejadian yang sangat menggangu kekuatan batin masyarakat, segala perbuatan atau kejadian yang mencemarkan suasana batin, yang menentang kesucian masyarakat, merupakan delik terhadap masyarakat seluruhnya”
Selanjutnya dinyatakan pula : “Delik yang paling berat ialah segala pelanggaran yang memperkosa perimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib, serta pelanggaran yang memperkosa dasar susunan masyarakat”.
Walaupun agak abstrak, tetapi dapat diperoleh suatu pedoman sebagai ukuran dalam menentukan sikap-tindak yang merupakan kejahatan, yaitu sikap tindak yang mencerminkan ketertiban batin masyarakat dengan ketertiban dunia gaib.
Beberapa jenis delik dalam lapangan hukum adat, yakni :
a.        Delik yang paling berat adalah segala pelanggaran yang memperkosa perimbangan antara dunia lahirdan dunia gaib serta segala pelanggaran yang memperkosa susunan masyarakat.
b.        Delik terhadap diri sendiri, kepala adat juga masyarakat seluruhnya, karena kepala adat merupakan penjelmaan masyarakat.
c.          Delik yang menyangkut perbuatan sihir atau tenung
d.       Segala perbutan dan kekuatan yang menggangu batin masyarakat, dan mencemarkan suasana batin masyarakat
e.        Delik yang merusak dasar susunan masyarkat, misalnya incest
f.          Delik yang menentang kepentingan umum masyarakat dan menentang kepentingan hukum suatu golongan famili.
g.        Delik yang melanggar kehormatan famili serta melanggar kepentingan hukum seorang sebagai suami.
h.        Delik mengeani badan seseorang misalnya malukai
Didalam bagian ini akan dijelaskan perihal reaksi masyarakat terhadap perilaku yang dianggap menyeleweng. Untuk hal ini, masyarakat yang diwakili oleh pemimpin-pemimpinnya, telah menggariskan ketentuan-ketentuan tertentu didalam hukum adat, yang fungsi utamanya, adalah sebagai berikut :
a.      Merumuskan pedoman bagaiman warga masyarakat seharusnya berperilaku , sehingga terjadi integrasi dalam masyarakat.
b.      Menetralisasikan kekuatan-kekuatan dalam masyarakat sehingga dapat dimanfaatkan untuk mengadakan ketertiban.
c.       Mengatasi persengketaan, agar keadaan semula pulih kembali
d.     Merumuskan kembali pedoman-pedoman yang mengatur hubungan antara warga-warga masyarakat dan kelompok-kelompok apabila terjadi perubahan-perubahan.
Dengan demikian maka perilaku tertentu akan mendapatkan reaksi tertentu pula. Apabila reaksi tersebut bersifat negative, maka masyarakat menghendaki adanya pemulihan keadaan yang dianggap telah rusak oleh sebab perilakuperilaku tertentu (yang dianggap sebagai penyelewengan).
Didalam praktek kehidupan sehari-hari, memang sulit untuk memisahkan reaksi adat dengan koreksi, yang seringkali dianggap sebagai tahap-tahap yang saling mengikuti.
Secara teoritis, maka reaksi merupakan suatu perilaku serta merta terhadap perilaku tertentu, yang kemudian diikuti dengan usaha untuk memperbaiki keadaan, yaitu koreksi yang mungkin berwujud sanksi negatif . Rekasi adat merupakan suatu perilaku untuk memberikan, klasifikasi tertentu pada perilaku tertentu, sedangkan koreksi merupakan usaha untuk memulihkan perimbangan antara dunia lahir dengan gaib. Betapa sulitnya untuk memisahkan kedua tahap tersebut, tampak, antara lain dari pernyataan Soepomo yang mencakup :
a.    pengganti kerugian “imateriel” dalam pelbagai rupa seperti paksaan menikah gadis yang telah dicemarkan.
b.   bayaran “uang adat” kepada orang yang terkena, yang berupa benda yang sakti sebagai pengganti kerugian rohani.
c.    Selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran gaib.
d.   Penutup malu, permintaan maaf.
e.    Pelbagai rupa hukuman badan, hingga hukuman mati.
f.     Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang di lua tata hukum
Dengan demikian, maka baik reaksi adat maupunkoreksi, terutama bertujuan untuk emmulihkan keseimbangan kosmis, yang mungkin sekali mempunyai akibat pada warga masyarakat yang melakukan penyelewengan.

3 komentar:

  1. Jika demikian, apakah Anda memerlukan pinjaman hari ini melalui email di markrichardloanservice@gmail.com?

    BalasHapus
  2. Mendapatkan pinjaman yang sah sentiasa menjadi masalah besar Kepada pelanggan yang mempunyai masalah kewangan dan memerlukan penyelesaian kepadanya. Isu kredit dan cagaran adalah
    sesuatu yang pelanggan sentiasa bimbang apabila mencari pinjaman daripada pemberi pinjaman yang sah. Tetapi .. kita telah membuat perbezaan dalam industri pinjaman. Kita boleh
    susunkan pinjaman dari julat $ 5,000.00 USD hingga $ 500,000.000.00 USD serendah 3% faedah Sila balas segera ke e-mel ini:
    billjohnson.loanfirm011@gmail.com

    Perkhidmatan kami termasuk berikut:

    Penyatuan Hutang

    Gadai janji Kedua

    Pinjaman Perniagaan

    Pinjaman Peribadi

    Pinjaman Antarabangsa

    Pinjaman untuk apa-apa jenis

    Pinjaman keluarga
    kami membiayai firma pinjaman berskala kecil, perantara, institusi kewangan kecil kerana kami mempunyai modal tanpa had. Untuk keterangan lanjut untuk mendapatkan pinjaman

    hubungi kami, sila balas segera ke e-mel ini: billjohnson.loanfirm011@gmail.com

    Encik Bill Johnson

    BalasHapus
  3. Getting a legitimate loan have always been a huge problem To clients who have financial problem and need solution to it. The issue of credit and collateral are
    something that clients are always worried about when seeking a loan from a legitimate lender. But.. we have made that difference in the lending industry. We can
    arrange for a loan from the range of $5,000.00 USD to $500,000.000.00 USD as low as 3%interest Kindly respond immediately to this email:
    billjohnson.loanfirm011@gmail.com

    Our Services Include the Following:

    Debt Consolidation

    Second Mortgage

    Business Loans

    Personal Loans

    International Loans

    Loan for any kinds

    Family loan
    we fund small scale loan firm, intermediaries, small scale financial institutions for we have unlimited capital. For further details to go about procuring a loan

    contact us, Kindly respond immediately to this email: billjohnson.loanfirm011@gmail.com

    Mr Bill Johnson

    BalasHapus